Features Ekonomi Masyarakat  Pliek Ue Atjeh (Patarana Aceh)

Features Ekonomi Masyarakat Pliek Ue Atjeh (Patarana Aceh)

Bandaaceh,Citraindonesianews— Pedih mata tak terbendung demi mencari
sesuap nasi dan menopang kebutuhan hidup. Jam terus berputar selama dua puluh
empat jam, hidup ibarat roda terkadang di bawah terkadang pula di atas. Pagi
buta bangun dari mata yang lelap kurang jelas apakah masih gelap malam atau
memang sudah terang matahari terbit dari arah timur, kenapa waktu begitu cepat
berjalan, tiadakah kesempatan untuknya merebahkan badannya mengingat betapa
lelahnya hari memikul hidup dalam segenggam patarana.
Hidup dalam keterbatasan finansial sudah
sangat terasa bagi masyarakat kurang berkemampuan, apalagi masyarakat yang
berada di daerah Aceh itu sendiri. Bagaimana tidak, terbesit kekecewaan dalam
hati dan tersentuh kepahitan dalam perasaan mengapa nasib bangsa harus
terkurung dalam keterpurukan dari segala persoalan datang tanpa adanya
kesalahan para rakyat tak berdosa. Kini Indonesia telah merdeka enam puluh
sembilan tahun sudah lamanya, tapi terluntang lantung kemana harus mereka
berjalan mengadu nasib melewati beban yang hadir tak di harapkan dia disini.
Salah satu provinsi yang berbicara dan
berusaha dalam keadaan terhimpit adalah Aceh kini. Masa penjajahan dulu bangsa
Aceh telah banyak berkorban untuk ketahanan hidup dan bebas dari para penjajah
hingga pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menikmati kemerdekaan. Setelah
itupun Aceh di susul dengan perang bersenjata antara RI dan GAM yang telah
memakan korban tak terhitung, namun itu telah di akhiri dengan adanya kesepakatan
perjanjian damai di MoU Helsinki dari kedua belah pihak yaitu RI dan GAM,
hingga masyarakat Aceh pun merasakan kedamaian dan hilang dari rasa trauma.
Senyumanpun menghiasi warna bangsa Aceh serta syukurpun kepada Yang Maha Kuasa
tidak lupa untuk di panjatkan karena ini sudah menjadi bagian dari adat dan
sifat rakyat Aceh itu sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu Aceh damai
maka Tuhan pun memberi ujian lain terhadap negeri Seuramoe Meukkah ini berupa
Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 tepat pukul 08.30 WIB pagi
itu. Maka kembali sudah nasib rakyat Aceh ketika itu menangis dan meronta
melihat keluarga tercinta mereka telah terpisahkan dalam gulungan ombak laut
kian marah, mayat terapung di mana-mana, banyak anak-anak kecil baik dari bayi,
balita, remaja bahkan dewasa terpisahkan dari tangan dan pelukan orangtua serta
anggota keluarganya. Porak poranda dalam waktu beberapa detik saja jika Tuhan
marah, namun itu adalah bagian cobaan ujian yang harus di ingat oleh banyak
orang untuk bersyukur dan ingat kepadanya serta peringatan sebagai umat yang
jauh dari maksiat, Subhanallah betapa Yang Maha Kuasa Berbuat adil karena
setiap yang hidup pasti akan mati.
Dengan demikian tidak selamanya juga
Aceh harus tenggelam dalam kesedihan dan kehancuran setelah musibah begitu
banyak menimpa negeri serambi mekkah ini. Salah satu bukti yang tersisa dan masih
di manfaatkan oleh kaula masyarakat yaitu lahirnya sejumlah pengrajin Pliek Ue
atau patarana yang terdapat di desa Tanoeh Anoe Kecamatan Jangka Kabupaten
Bireun contohnya, mereka berusaha untuk mewujudkan arti kehidupan dalam segala
keadaan ekonomi yang kini sedang merosot dari setiap sisi. Namun, sangat di
sayangkan karena kegiatan ini masih dibutuhkan perhatian pemerintah setempat.
Banyak keluh kesah yang tersimpan dalam
jiwa para pengrajin patarana ini, seperti yang di ketahui selama ini dari
kalangan pembuat patarana merupakan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan
apa-apa, bahkan ada juga yang pas-pasan. Menjadi satu dorongan hidup karena
mereka berhasil dalam usaha sederhananya bisa menampung beberapa tenaga kerja
baru, yaitu sebagian di antaranya masyarakat miskin yang terdapat di Kecamatan
Jangka rata-rata hanya berfrofesi sebagai pengrajin patarana. Untuk itu,
diharapkan dengan adanya keinginan kemajuan perekonomian masyarakat agar
pemerintah merespon usaha demikian karena walau bagaimanapun mereka sebagai
rakyat kecil telah berusaha bertahan hidup dalam kondisi negeri serba sibuk
dalam permasalahan politik yang sebagian tidak di mengerti oleh masyarakat yang
memiliki pemikiran awam. Maka, banyak di antara para pengrajin patarana ini
mengeluhkan karena belum pernah mereka mendapatkan pembinaan dari pemerintah
sebagaimana yang dimiliki oleh kelompok usaha masyarakat lainnya.
Tak luput dari rasa lelah dan penat bagi
para pengrajin ini, seperti yang di lihat pada umunya usaha produksi patarana
telah menampung kaum ibu-ibu, dan di sini tugas mereka sebagai tukang kukur
kelapa yang sudah disimpan setelah di belah beberapa hari. Ketika masa proses
pembuatan patarana di hargai ongkos kukur dalam satu butir kelapa yaitu Rp 120,
sedangkan dalam satu kali pembuatan patarana menghabiskan 600 sampai dengan 800
biji kelapa. Akan tetapi dalam 800 biji kelapa tersebut dapat menghasilkan
patarana kering sebanyak 80 Kg. Untuk patarana sendiri di jual dengan harga Rp
20.000 per kilo gram, sedangkan dari olahan patarana dapat juga menghasilkan
perasan minyak yang di jual dengan harga Rp 9.500 per kilo gram. Bukan hanya
itu saja, tempurung kelapa juga ikut di manfaatkan untuk membuat arang dan di
jual dengan harga Rp 9.000 per seratus biji tempurung, maka dalam satu bulan
patarana bisa di produksikan sebanyak empat kali.
Pengrajin patarana ibu Rosmani
contohnya, ia sudah melakoni pekerjaan ini selama empat tahun lamanya. Dan ia
juga mengatakan,”harga kelapa di pasaran kini sangat mahal, dulu saya dapat
membeli kelapa per kilo dengan harga Rp 1.700 per kilo gram, tapi sekarang saya
harus membeli kelapa Rp 2.000 sampai dengan Rp 2.200 per kilo gramnya”. Katanya.
Jika dilihat dari kondisi bangsa
Indonesia sendiri sangat sulit untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang kian
menipis. Tapi tidak bagi para ibu-ibu termasuk ibu Rosmani yang merupakan janda
dan mempunyai empat orang anak itu sendiri yang terdapat di kecamatan Jangka
Bireun ini, mereka tetap berusaha walau hasilnya sedikit. Untuk pemerintah
segera turun tangan memberikan perhatian demi membantu perekonomian masyarakat,
dengan adanya perhatian tersebut dan dibentuk semacam kelompok usaha
masyarakat.
Sampai kini, banyak peralatan yang
digunakan ibu-ibu pengrajin patarana menggunakan alat tradisional yang memang
telah menjadi alat turun temurun, dan ini sungguh sangat di sayangkan, perhatian
pemerintah daerah setempat segera dapat membantu kekurangan ini. Hal demikian
yang di harapkan guna untuk meningkatkan pendapatan pengrajin patarana tentunya
perlu meningkatkan kapasitas alat produksi seperti alat pemeras dan pengering,
demi memenuhi kebutuhan produksi tersebut pengrajin patarana di kecamatan
Jangka sangat mengalami terkendala dengan modal, apalagi mayoritas pengrajin
adalah kaum dhuafa yang sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah.
Inilah salah satu bentuk usaha
masyarakat Aceh menampung hidup dengan mengolah kelapa menjadi patarana walau
dengan hasil yang sangat minim. Musibah dan bencana mengajarkan kita semua
untuk menyadari betapa kita semua diberikan kesempatan dalam kehidupan yang
lebih baik, tanpa masyarakat yang bertanan benih padi maka kita yang besar
tentu tidak akan bisa makan, mereka lah yang mencari dan memberi. Sudah saatnya
mereka di layani sebagaimana usaha mereka dulu dan kini, perang darah
meninggalkan mati tapi perang hidup meninggalkan apa. Nasib bangsa ada ditangan
kita semua, rakyat adalah kekuatan bangsa dan rakyat adalah generasi penerus
bangsa. Bantulah mereka yang lemah dan membutuhkan, kini bangsa dalam
perekonomian tipis, bagi masyarakat kehidupan serba mahal, jadi mereka berusaha
bangkit dan bertahan demi hidup. Kerusakan bangsa bukan karena uang tetapi
karena kurang adanya cara yang baik dalam baris untuk di tata, jika cara baik
maka bangsa dan rakyatpun bahagia, walaupun itu dari segenggam cara seorang ibu
membuat patarana.(T2)
Facebook Comments
BANDA ACEH NEWS