rumah kecil indah mungil
lokal berpagar aneka pohon berbunga – berbuah.
Warga berkantong duduk bercengkrama di Cafe menikmati secangkir kopi
hangat dan wine merah, dalam kepulan asap rokok sembari berbicara
tentang cinta dan politik.
Warga kampung memanjakan diri
memancing dan bermain air di situ- situ berair bening dg taman dan
pohon- pohon rindang iyuh teduh.
Para seniman dan budayawan
asyik menulis puisi dan mencipta lagu tentang sinar kecantikan Sang
Walikota sambil sesekali mengkritik langkahnya.
Para politisi
membuka jas dan safari, berbaur di bale – bale warga mencicipi singkong
rebus menghisap kretek, bercerita ttg perdebatan demokrasi dan
keadilan.
Pengusaha, kaum profesional dan birokrat,
bercengkrama di pojok- pojok resto berdiskusi tgg berbagi, memberi,
dan membangun, dalam alunan musik blues dan aroma semerbak bau parfum
wanita wanita pelayan di separuh malam.
Polisi, tentara, dan
penegak hukum, berbagi tugas menjaga alur dan alir gerak ambisi dan
obsesi warga dalam pikuk ramai padat ruang kota.
Ulama,
Cendekiawan, intelektual, tak bosan memberi warna, ruh, pada lukisan
ideal ttg kota madani, mengambil jarak dari ruang kursi penguasa.
Ah, Tangsel engkau terlahir untuk berbagi dan memberi, bukan untuk mengambil, menumpuk, dan mengumpul.
Apakah aku masih tertidur dalam sepotong mimpi?
(Uten S, padepokan 2017).
UKW 2018