
Jakarta,Citranewsindonesia- Reformasi Indonesia sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun, sebagai buah dari perjuangan mahasiswa dan elemen rakyat lainnya yang bersatu padu meruntuhkan rezim otoritarianisme. Radikalisasi pemikiran di kalangan terpelajar, kaum buruh, petani dan kaum miskin kota, saat itu telah melahirkan sebuah aksi kolektif yang mencapai perubahan mendasar, yaitu pergantian kepemimpinan nasional yang selama 32 tahun tidak terjadi.
Dua puluh tahun perjalanan ini tentu tidak luput dari berbagai rintangan dan bajakan di tengah jalan. Teriakan keras para politisi yang mengagungkan NKRI seolah hanya menjadi slogan tanpa makna, tanpa ada usaha untuk mewujudkan kedaulatan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Atas situasi nasional saat ini yang jauh dari tujuan Reformasi tahun 1998, bertempat di hotel Ibis, Cikini, Jakarta Pusat, puluhan mantan aktivis gerakkan mahasiswa’98 yang dahulu tergabung dalam wadah Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se Jakarta (FKSMJ) serta Forum Kota (FORKOT) seperti, Mangapul Silalahi, Sangap Surbakti, Nandang Wira, Agus Rihat, Edysa Girsang dan lainnya, Senin (25/06/2018) menggelar Konferensi Pers untuk menegaskan bahwa, sebagian besar aktivis’98 masih tetap komit dan konsisten menuntut Reformasi total dalam segala bidang seperti yang diamanatkan dalam gerakkan Reformasi’98.
“Sejak kelahirannya, gerakkan aktivis mahasiswa 98 adalah gerakan yang mengoreksi total hampir keseluruhan praktek kehidupan bernegara, diantaranya : Authoritarianism, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Mengingat begitu kuatnya “tembok kekuasaan” yang harus dihadapi, maka gerakkan aktivis mahasiswa’98 tidak mungkin menjadi gerakan massif yang melibatkan seluruh komponen masyarakat tanpa adanya upaya-upaya radikalisasi di sejumlah kampus perguruan tinggi maupun basis-basis perlawanan komponen masyarakat lainnya,” terang Edysa Girsang (EQ) dan Mangapul Silalahi.
Keduanya menambahkan bahwa, menolak Radikalisme berarti menolak “jati diri” dari marwah gerakkan aktivis mahasiswa’98 itu sendiri. Radikalisme’ 98 tidak terkait dengan perkembangan ideologi-ideologi “trans-nasional” yang belakangan berkembang, baik di sejumlah negara termasuk di Indonesia. Radikalisme’98 adalah suatu sikap, tindakan, khas anak muda Indonesia yang ingin melakukan perubahan hingga ke akar-akarnya dengan segera. Kemerdekaan Indonesia bukan karena adanya ideologi yang mapan, bukan karena pemberontakan militer bersenjata, melainkan karena Adanya anak-anak muda yang radikal.
Sementara itu, Sanggap Surbakti, Nandang Wira serta Agus Rihat, menegaskan bahwa, Gerakan aktivis mahasiswa’98 merupakan gerakan moral politik yang tidak sepenuhnya gagal, namun belum berjalan ke tujuan yang kita inginkan. Secara politik, demokrasi prosedural telah dipenuhi lewat Pemilu maupun Pilkada, tapi secara esensi tidak menghasilkan produk pemimpin dan wakil rakyat yang mumpuni, melainkan justru semakin banyak yang melakukan Korupsi.
“Tengoklah berapa banyak pejabat daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dalam tahun 2018, menandakan para politisi tidak kunjung jera terhadap hukuman yang diarahkan padanya. Politik berbiaya tinggi kerap dikeluhkan oleh para politisi, namun alih-alih melakukan perubahan internal dalam tubuh partai, mereka justru mempraktekkan politik uang untuk memenangkan pemilu atau pilkada. Sebar sembako pada saat kampanye, bukan hal baru yang bisa kita temukan belakangan ini. Kepemimpinan sipil demokratik masih saja gemar menyeret-nyeret kekuatan TNI dan Polri, seolah tidak percaya diri pada kemampuannya sendiri,” tandasnya.
Dengan dasar pemikiran di atas, maka segenap komponen aktivis gerakkan mahasiswa’98 masih tetap konsisten dan akan melawan siapapun rezim penguasa yang tidak dapat menjalankan amat cita-cita Reformasi total’98, dan menegaskan : Menolak klaim tunggal ativis’ 98, Menolak pemberangusan istilah radikal dalam gerakan-gerakan kerakyatan, Menghimbau kepada segenap pelaku gerakan’98 untuk terus mengawal nilai-nilai yang diperjuangakan dalam gerakkan aktivis mahasiswa memperjuangkan Reformasi total sekalipun dengan sikap radikal, Melakukan advokasi kepada korban-korban stigmasisasi radikal baik di lingkungan kampus perguruan tinggi maupun basis-basis perjuangan rakyat yang menuntut keadilan, Mengawal siapapun pemerintahan yang berkuasa untuk berada dalam koridor nilai-nilai yang di perjuangkan yang memungkinkan mereka membentuk pemerintahan melalui prosedur Demokrasi yang berdasarkan hasil dari perjuangan gerakkan aktivis mahasiswa’98.
(BTL)