Owa Jawa, Pelestari Hutan yang Terancam Punah

Jumlahnya di hutan kurang dari 5.000 ekor akibat perdagangan ilegal sebagai hewan peliharaan
 
Sukabumi, 24 November 2016 – Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan salah satu spesies endemik yang masuk kategori Endangered dalam IUCN Red List of Threatened Species. Hewan ini hidup di wilayah barat Pulau Jawa, terutama di hutan-hutan di wilayah Banten, Jawa Barat, hingga Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. 
Berbagai penelitian mengenai jumlah Owa Jawa memperkirakan jumlah populasi yang tersisa di hutan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah berada pada kisaran 3.000 hingga 5.304 ekor. Angka tersebut sepintas besar, namun satuan terkecil untuk owa jawa bukanlah individu melainkan satu keluarga, dimana dalam satu keluarga owa jawa terdapat 3-5 individu yang terdiri sepasang induk serta 2-3 anak. 
Sistem keluarga, monogami dan teritorial itulah yang menjadikan owa jawa rentan akan kepunahan. Kerberlangsungan hidup owa jawa cukup memprihatinkan dengan berkurangnya habitat, praktek perburuan dan perdagangan. Padahal spesies ini merupakan indikator penting kesehatan hutan dan berperan pada reforestasi hutan secara alami, yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
 
Sebagai primata pemakan buah, Owa Jawa berperan membantu penyebaran benih tumbuhan melalui kotoran mereka, yang kemudian tumbuh dalam proses pelestarian hutan secara alami. Ancaman pada kelestarian spesies ini berdampak tidak langsung bagi manusia, yang bergantung pada hutan sebagai sumber air dan udara segar, serta pencegah bencana banjir dan longsor. Secara nasional, spesies ini dilindungi melalui UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
 
Terancamnya populasi Owa Jawa salah satunya disebabkan oleh kerusakan habitat tempat tinggalnya. Diperkirakan bahwa 96% habitat yang menjadi rumah Owa Jawa telah rusak (MacKinnon dalam Andayani, Ario, & Supriatna, 2011). Awalnya Owa Jawa hidup di sebagian hutan di Jawa Barat dan menempati habitat seluas 43.274 km2, tetapi kini keberadaannya semakin terdesak dan hanya tinggal di daerah dilindungi yang luasnya hanya sekitar 600 km2 (Supriatna & Wahyono, dalam Andayani, Ario, & Supriatna, 2011). Umumnya penurunan luas habitat ini disebabkan alih fungsi lahan untuk lahan pertanian, industri, dan pemukiman karena pesatnya pertumbuhan penduduk Pulau Jawa.
 
Ancaman lain terhadap keberlangsungan hidup Owa Jawa adalah perburuan, khususnya untuk diperdagangkan secara ilegal sebagai hewan peliharaan. Owa Jawa adalah salah satu spesies langka yang kerap diperdagangkan secara ilegal, baik di pasar hewan maupun internet. Bayi atau anak Owa Jawa kerap menjadi sasaran perburuan, yang secara langsung mengancam kelangsungan hidup keluarga Owa Jawa tersebut. Diperkirakan lebih dari 100 individu owa jawa yang menjadi satwa peliharaan di masyarakat sejak tahun 1997.
 
Anton Ario, West Java Program Manager Conservation International Indonesia menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik Owa Jawa yang mirip seperti manusia, antara lain berkeluarga dan tinggal menetap pada satu lokasi sebagai rumah. Selain itu, Owa Jawa juga bersifat monogami dan sangat setia. Anton menjelaskan baahwa memburu satu anak atau bayi Owa Jawa untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan, sama halnya dengan membunuh satu keluarga Owa Jawa. “Untuk memburu bayi Owa Jawa, pemburu akan membunuh induk tersebut. Sedangkan ayah Owa Jawa yang kehilangan anak dan pasangannya, umumnya akan depresi dan kemudian mati.” Anton menambahkan bahwa menjadikan Owa Jawa sebagai hewan peliharaan bukan merupakan bentuk rasa sayang binatang, karena dengan begitu mereka tidak dapat hidup pada habitatnya di hutan. Hal tersebut juga meniadakan perannya sebagai indikator penting kesehatan hutan.
 
Melalui Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa (Javan Gibbon Center) yang dibentuk pada tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Yayasan Owa Jawa, Universitas Indonesia, dan CI Indonesia bekerjasama mendukung pelestarian Owa Jawa, khususnya pada kegiatan penyadartahuan dan upaya rehabilitasi sebelum melepaskan Owa Jawa ke alam liar.
 
Pristiani Nurantika, dokter hewan dari Yayasan Owa Jawa menyampaikan bahwa upaya rehabilitasi Owa Jawa sebelum dilepasliarkan perlu didampingi dengan intensif, mulai dari perawatan kesehatan dan penyembuhan penyakit bila ada, rehabilitasi mengembalikan perilaku alami Owa Jawa agar bisa bertahan hidup di alam liar, sampai mempertemukan dengan pasangan sehingga mereka bisa berpasangan saat dilepaskan ke hutan. “Sejak tahun 2013, Yayasan Owa Jawa telah melepasliarkan 13 individu (3 pasang, dan 2 keluarga Owa Jawa), 3 individu anakan owa jawa yang lahir di JGC juga turut dilepasliarkan bersama induk mereka. Umumnya satu individu perlu waktu rehabilitasi selama 5 tahun (tergantung kemampuan peningkatan perilaku dan kesehatan setiap individu) dengan biaya per bulan untuk seluruh kebutuhan mereka sekitar Rp 1.500.000 per individu owa jawa. Saat ini ada 20 individu Owa Jawa yang sedang direhabilitasi di JGC, mayoritas adalah hewan peliharaan dari masyarakat yang tinggal di Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Banten, Bandung dan Ciamis.”
 
Pristiani menyampaikan harapan agar masyarakat menyadari peran penting spesies ini di hutan, serta berperan aktif melaporkan bila mendapati masyarakat yang masih memelihara atau perdagangan ilegal Owa Jawa. Nomor hotline Yayasan Owa Jawa di 0251-8224963 atau e-mail: [email protected] terbuka bagi siapa saja yang ingin melaporkan kasus perdagangan ilegal atau untuk mengembalikan Owa Jawa ke habitat alaminya di hutan. “Pelestarian spesies ini pada ujungnya akan bermanfaat bagi kehidupan kita semua,” tutupnya.
Facebook Comments

Redaksi Citranews

Media Online

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *