TANGSEL | Citranewsindonesia.com – Ketahanan Pangan adalah fondasi utama kemandirian sebuah bangsa. Tidak ada bangsa yang bisa berdiri tegak tanpa ketersediaan pangan yang cukup, aman, dan berkelanjutan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2012, tentang Pangan. Ketahanan pangan bukan sekadar urusan jumlah, tetapi juga kualitas pangan yang merata, bergizi, serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Disinilah peran pers menjadi sangat strategis—mengawal, mengedukasi, dan memastikan bahwa setiap kebijakan pangan berjalan di jalur yang benar.
Namun, di tengah transformasi media yang begitu cepat, pers justru menghadapi tantangan serius. Alih-alih fokus pada fungsi kontrol sosial dan penyampai kebenaran, banyak media kini terjebak dalam perang klik dan rating.
Berita yang seharusnya memberi pencerahan, justru berubah menjadi komoditas, diukur dari seberapa banyak ia dibaca, bukan dari seberapa benar isinya.
Pers memiliki peran strategis dalam mengawal ketahanan pangan, terutama di tengah situasi global yang penuh ketidak-pastian. Godaan untuk mengejar popularitas demi jumlah pembaca dan klik sangat besar. Kecepatan, sering dianggap lebih penting dari pada kebenaran.
Dalam isu sensitif seperti ketahanan pangan, kesalahan informasi bisa berakibat fatal, tidak hanya pada ekonomi tetapi juga pada kemandirian bangsa.
Apa jadinya, jika pers menyajikan informasi yang belum terverifikasi tentang ketersediaan pangan, krisis harga, atau impor bahan pokok? Kepanikan bisa muncul seketika. Masyarakat mulai melakukan penimbunan, distribusi terganggu, dan harga melambung tinggi.
Semua itu, berawal dari satu berita yang tak teruji kebenarannya. Dalam situasi seperti ini, pers yang seharusnya menjadi pengawal kebenaran justru berpotensi menjadi penyebab kericuhan.
Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan, pentingnya kemandirian bangsa yang dimulai dari berbagai aspek kehidupan, termasuk pangan. Kemandirian pangan adalah syarat mutlak bagi kedaulatan bangsa.
Pers memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan masyarakat mendapatkan informasi yang benar, tentang kondisi pangan nasional, kebijakan pemerintah, serta tantangan yang dihadapi para petani dan pelaku usaha di sektor pangan.
Namun, tanggung jawab ini tidak akan terpenuhi jika pers lebih sibuk memburu berita sensasional demi meningkatkan trafik. Ketika fakta dikorbankan demi viralitas, siapa yang akan membayar harga dari informasi yang salah? Jawabannya, jelas: Rakyat kecil. Petani yang sudah berjuang keras, konsumen yang bingung dengan informasi simpang siur, dan akhirnya negara yang harus menanggung dampaknya.
Lebih parah lagi, jika ada oknum yang mengaku sebagai Pers namun justru menyebarkan berita palsu untuk kepentingan tertentu. Mereka bukan sekadar melanggar etika jurnalistik, tetapi juga menghambat upaya kemandirian pangan.
Oknum-oknum seperti ini, tidak boleh diberi ruang. Aparat harus berani menindak tegas, karena kedaulatan bangsa terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan segelintir orang.
Di sisi lain, pemerintah dan pemangku kebijakan juga harus berani menghadapi kritik yang membangun dari Pers. Jangan sampai kritik dianggap sebagai ancaman, apalagi jika tujuannya adalah untuk memperbaiki kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Ketahanan pangan bukan proyek politik jangka pendek, melainkan perjuangan panjang yang harus dikawal bersama.
Pers harus kembali kepada jati dirinya; menyajikan informasi yang akurat, kritis, dan membangun. Jangan tergoda, oleh angka-angka yang hanya sementara. Jumlah klik mungkin memuaskan di awal, tetapi kebenaranlah yang akan bertahan selamanya.
Ketahanan pangan tidak akan terwujud, tanpa kolaborasi semua pihak; petani, pemerintah, masyarakat, dan tentu saja pers. Disinilah pers menjadi penjaga garda terdepan, memastikan bahwa informasi yang sampai ke publik benar-benar bisa dipercaya dan bermanfaat bagi upaya kemandirian bangsa. Pers yang kuat akan melahirkan bangsa yang berdaulat.
Saatnya kita kembali, memuliakan kebenaran di atas segalanya. Karena hanya dengan kebenaran, kemandirian bangsa bisa kita wujudkan.
“Doa terbaik kami panjatkan untuk para jurnalis yang dengan penuh dedikasi, bahkan di tengah ancaman dan tantangan, tetap berdiri tegak menyuarakan kebenaran. Semoga mereka selalu diberi kekuatan, keberanian, dan kesehatan dalam menjalankan tugas mulia ini. Semoga setiap pena yang mereka goreskan, setiap berita yang mereka sampaikan, menjadi cahaya bagi masyarakat dan langkah besar menuju kemandirian bangsa,”
Selamat Hari Pers Nasional 2025 (9 Februari 2025).
Tetaplah menjadi pengawal kebenaran, penjaga ketahanan pangan, dan pilar bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Karena di tangan pers yang jujur, bangsa ini akan semakin berdaulat dan sejahtera. (®)