Bahaya Media Sosial Bagi Kaum Muda Menurut Penelitian

Jakarta | citranewsindonesia.com– Media sosial adalah wadah digital yang mengizinkan individu, kelompok, atau organisasi tertentu untuk berinteraksi, menyebarkan informasi, dan menjalin koneksi secara daring.

Di dalam platform ini, pengguna memiliki kemampuan untuk menciptakan profil pribadi dan berbagi beragam jenis konten, termasuk teks, gambar, dan video. Selain itu, mereka dapat berkomunikasi dengan pengguna lain melalui komentar, pesan pribadi, atau merespons konten yang dibagikan.

Dilansir dari nytimes.com, sekelompok 41 negara bagian dan District of Columbia mengajukan gugatan pada tanggal 24 Oktober terhadap Meta, perusahaan induk dari Facebook, Instagram, WhatsApp dan Messenger, dengan menyatakan bahwa perusahaan tersebut dengan sengaja menggunakan fitur-fitur pada platformnya untuk menyebabkan anak-anak menggunakannya secara kompulsif, bahkan ketika perusahaan tersebut mengatakan bahwa situs media sosialnya aman bagi kaum muda.

Menurut negara bagian tersebut dalam gugatan mereka yang diajukan ke pengadilan federal, Meta telah memanfaatkan teknologi yang kuat dan belum pernah terjadi sebelumnya untuk memikat hingga melibatkan yang pada akhirnya menjerat kaum muda dan remaja.

“Motifnya adalah keuntungan,” ujarnya dalam gugatan yang diajukan ke pengadilan federal.

BACA JUGA :  Benyamin Davnie Terima Kunjungan Andra Soni di Rumah Dinas Wali Kota Tangsel

Gugatan tersebut mencetuskan pertanyaan yang lebih mendalam tentang perilaku, yakni apakah generasi muda telah mengembangkan ketergantungan terhadap media sosial dan internet?

Menurut para pakar yang mempelajari penggunaan internet, daya tarik media sosial berasal dari cara konten berinteraksi dengan dorongan dan sistem saraf kita, sehingga pengguna merasa sulit untuk melepaskan diri dari aliran informasi yang terus berdatangan.

Seorang psikolog dan pendiri Pusat Kecanduan Internet dan Teknologi di West Hartford, Connecticut David Greenfield mengatakan bahwa perangkat tersebut memikat pengguna dengan beberapa taktik yang ampuh. Salah satu aspeknya adalah “penguatan intermiten” yang menghasilkan ide bahwa pengguna bisa menerima penghargaan pada waktu tertentu, meskipun tidak ada jadwal yang dapat diprediksi.

“Seperti mesin slot,” ujarnya.

Greenfield juga menjelaskan bahwa orang dewasa sangat rentan, namun orang muda khususnya lebih berisiko, karena bagian otak yang terlibat dalam menolak godaan dan penghargaan belum berkembang pada anak-anak dan remaja seperti pada orang dewasa.

“Semuanya adalah tentang dorongan hati dan bukan tentang pengendalian dorongan tersebut,” ujarnya.

Selama beberapa dekade, definisi kecanduan dalam konteks ilmiah biasanya terkait dengan zat-zat, seperti narkoba, daripada perilaku, seperti perjudian atau penggunaan internet. Akan tetapi, pandangan ini mulai mengalami perubahan.

BACA JUGA :  Walikota Airin Resmikan Balai Warga RW 08 Graha Bunga

Pada tahun 2013, Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, sumber referensi utama dalam hal kondisi kesehatan mental, memperkenalkan gagasan mengenai kecanduan game internet, namun mengindikasikan bahwa diperlukan lebih banyak penelitian sebelum kondisi tersebut dapat diakui secara resmi.

Penelitian selanjutnya menjelajahi lebih dalam mengenai perluasan definisi “kecanduan internet”. Peneliti menyarankan untuk melakukan eksplorasi lebih lanjut pada kriteria diagnostik dan bahasa yang digunakan. Mereka mencatat bahwa istilah-istilah seperti “penggunaan yang bermasalah” dan bahkan kata “internet” sendiri dapat memiliki berbagai penafsiran, mengingat variasi dalam jenis informasi dan cara penyampaian.

Direktur Digital Wellness Lab di Rumah Sakit Anak Boston Michael Rich tidak menyarankan penggunaan kata “kecanduan” karena jika digunakan secara efektif dan terbatas, internet tidak hanya berguna tetapi juga penting dalam kehidupan sehari-hari.

“Saya lebih menyukai istilah ‘Penggunaan Media Internet yang Bermasalah’,” ujarnya.

(Dinda )

Facebook Comments

Redaksi Citranews

Media Online

Mungkin Anda Menyukai