pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang
lebih baik. Awalnya, frasa ini merupakan jargon yang diusung presiden
terpilih Joko Widodo (Jokowi) sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014.
Banyak
permasalahan yang terjadi di negara kita saat ini, mulai dari rakusnya
pejabat yang memperkaya diri sendiri, pelanggaran hak asasi manusia
(HAM), hingga perilaku sehari-hari masyarakat, seperti tidak mau antre
dan kurang peduli terhadap hak orang lain.
Sebenarnya
perilaku-perilaku negatif tersebut bisa diubah. Mental dan karakter bisa
dibangun. Itulah mengapa revolusi mental bukanlah pilihan, tetapi suatu
keharusan yang harus dilakukan, agar bangsa kita bisa berdiri sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Kita bisa membuat Indonesia
menjadi lebih baik dengan memulai revolusi mental dari diri sendiri,
mulai saat ini! Kalau mengacu pada hasil-hasil survei internasional,
angka untuk Indonesia cenderung rendah, tetapi dalam hal-hal buruk
justru cenderung tinggi.
Contoh, Tranparency International
menunjukkan persepsi tentang tingkat korupsi di sektor publik. Adapun
dari 177 negara dan dengan skor 177, Indonesia berada di rangking 114
dengan skor 32. Nilai ini berada di bawah Ethiopia, yang berada pada
posisi 111.
Tak hanya urusan serius seperti korupsi, masyarakat
Indonesia sendiri merasa resah melihat perilaku, sikap, dan mentalitas
sebagian masyarakat lainnya yang saling serobot di jalan raya, tak mau
antre, atau kurang menghargai orang lain.
Keprihatinan itu melahirkan serangkaian forum group discussion
(kelompok diskusi terfokus) di Jakarta, Aceh, dan Papua yang dilakukan
oleh Kelompok Kerja Revolusi Mental Rumah Transisi. FGD ini melibatkan
300 budayawan, seniman, perempuan, netizen, kaum muda, pengusaha,
birokrat, tokoh agama/adat, akademisi dan LSM.
Pertemuan-pertemuan
mereka melahirkan kesimpulan bahwa bangsa Indonesia memang harus
mengubah mentalitasnya secara revolusioner, karena adanya:
1. krisis nilai dan karakter
2. krisis pemerintahan, dimana pemerintah ada, tapi tidak hadir dan masyarakat menjadi objek pembangunan,
3. krisis relasi sosial, berupa gejala intoleransi
Lalu bagaimana memulainya?
Presiden Jokowi, dalam tulisan “Revolusi Mental” melalui presiden.go.id
menyebutkan, revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional,
usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang
benar-benar merdeka, adil dan makmur.
Hal ini dilakukan mulai
dari diri kita sendiri, yang dimulai dari lingkungan keluarga dan
lingkungan tempat tinggal, serta lingkungan kerja, dan kemudian meluas
menjadi lingkungan kota dan negara.(*)